Kamis, 27 Mei 2010
Sutta Tentang Berkah Utama
Pada suatu ketika Sang Bhagava Menetap di dekat Savatthi, di hutan Jeta di Vihara Anathapindika, maka datanglah Dewa ketika hari menjelang pagi dengan cahaya yang cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta, menghampiri Sang Bhagava, menghormat Beliau, lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu berbertanya kepada Sang Bhagava dalam syair ini:
“Banyak Dewa dan manusia berselisih paham tentang berkah yang diharap membawa keselamatan, Terangkanlah apa Berkah utama itu?”
Tidak bergaul dengan orang yang tak bijaksana, Bergaul dengan mereka yang bijaksana, menghormat mereka yang patut dihormat, itulah Berkah Utama.
Hidup di tempat yang sesuai, berkat jasa-jasa dalam kehidupan lampau, menuntun diri ke arah yang benar, itulah Berkah Utama.
Memiliki pengetahuan dan ketrampilan, terlatih baik dalam tata susila, ramah tamah dalam ucapan, itulah Berkah Utama.
Membantu Ayah dan Ibu, menyokong anak dan istri, bekerja bebas dari pertentangan, itulah Berkah Utama.
Berdana dan hidup sesuai dengan Dhamma, menolong sanak keluarga, bekerja tanpa cela, itulah Berkah Utama.
Menjauhi, tidak melakukan kejahatan, menghindari minuman keras, tekun melaksanakan damma, itulah Berkah Utama.
Selalu hormat, dan rendah hati, merasa puas dan berterima kasih, mendengarkan damma pada saat yang sesuai, itulah Berkah Utama.
Sabar, rendah hati jika diperingatkan, mengunjungi para petapa, membahas damma pada saat yang sesuai, itulah Berkah Utama.
Bersemangat dalam menjalankan hidup suci, menembus empat Kesunyataan Mulia, serta mencapai Nibbana, itulah Berkah Utama.
Meski tergoda pada hal-hal duniawi, namun batin tak tergoyahkan, tiada susah, tanpa noda, penuh damai, itulah Berkah Utama.
Karena dengan mengusahakan hal-hal itu, Manusia tak terkalahkan di manapun juga serta berjalan aman ke mana juga, Itulah Berkah Utama.
Buddha Siddhartha Gautama Mencapai Penerangan Sempurna
Akhirnya dia menemukan bahwa penyebab utama lingkaran kelahiran dan kematian semua makhluk adalah Kebodohan Batin, kemelekatan dan nafsu akan kesenangan duniawi yang tidak nyata dan tidak kekal. Sebab itu, bagi mereka yang ingin terbebas dari cengkeraman tumimbal lahir hendaknya melenyapkan segala ketamakan, nafsu, dan kemelekatan. Siddhartha juga memperoleh kemampuan melenyapkan kekotoran batin, terbebas dari segala kegelapan Batin, memahami penyebab penderitaan dan cara mengatasinya. Saat itu, Siddhartha di bawah pohon Bodhi di tepi sungai Neranjara mencapai Penerangan Sempurna, di bulan Vesak malam bulan purnama pada usia 35 Tahun.
Siddhartha bermeditasi di Bawah Pohon Bodhi
Pada hari itu setelah membersihkan diri di sungai Neranjara, Siddhartha kemudian bermeditasi di bawah pohon Sala dekat sungai tersebut. Sepanjang hari dia berlatih dengan tekun berharap dapat mencapai Penerangan sempurna di keheningan malam yang bebas dari lalu lalang orang. Pada senja hari Siddhartha meninggalkan pohon Salad dan berpindah ke pohon Bodhi. Sewaktu berjalan dia berjumpa dengan tukang rumput bernama Sotthiya yang mempersembahkan rumput kepadanya. Siddhartha meletakkan rumput itu sebagai alas duduk di bawah pohon Bodhi, kemudian duduk dengan menghadap timur.
Setelah duduk Siddhartha bertekad, “Meskipun tubuh dan darahku mengering, aku tidak akan berdiri meninggalkan tempat ini sebelum memperoleh cara pembebasan diriku dan seluruh umat manusia dari lingkaran belenggu kelahiran dan kematian.”
Sejak saat itu Siddhartha membersihkan dan memusatkan pikirannya pada pemahaman Kebenaran Mutlak. Dia merenung dan bertanya pada diri sendiri, “Darimanakah asal penderitaan ini? Bagaimana agar dapat terbebas dari penderitaan?” Tetapi sebagai seorang yang relative muda berusia 35 tahun, bayangan kehidupan masa lalu di istana dengan tiada hentinya muncul di dalam pikiran Siddhartha.
Muncul pula berbagai bayangan Mara yang bertujuan menggoda Siddhartha agar terkenang pada kenikmatan hidup waktu lampau dan membangkitkan keinginannya untuk kembali ke istana. Tekad yang kuat membantu Siddhartha mengendalikan pikirannya. Akhirnya dia berhasil mengalahkan segala godaan itu. Dengan pikiran tenang dia memasuki kondisi Samadhi yang dalam.
Melalui ketenangan semadhi, Siddhartha dengan pikirannya mengamati dan mencari sumber asal kehidupan. Dia berhasil mencapai kemampuan batin yang dapat mengetahui kehidupan masa lalu dirinya dan semua makhluk hidup. Lebih jauh lagi, dia memperoleh kemampuan batin yang membuatnya mengetahui lenyap dan munculnya semua makhluk dalam lingkaran tumimbal lahir yang tiada henti. Dia mengetahui bahwa ini semua ditentukan oleh karma (perbuatan) yang dilakukan oleh setiap makhluk. Kehidupan yang bahagia diperoleh karena melakukan perbuatan bajik, sedang penderitaan muncul dari perbuatan buruk.
Siddharta Mencari Cara Lain
Kesehatan Siddhartha telah pulih kembali. Dia telah menyadari bahwa usaha pencarian Penerangan Sempurna dengan menyiksa diri adalah bagaikan memilin pasir untuk membuat tetapi tidak demikian pandangan lima petapa. Mereka tetap yakin bahwa penyiksaan diri adalah satu-satunya cara menuju Penerangan sempurna. Karena meninggalkan penyiksaan diri dan kembali makan seperti semula, lima petapa beranggapan bahwa semangat Siddhartha dalam menempuh kehidupan suci telah kendur, maka pergilah mereka ke Taman Rusa meninggalkannya seorang diri.
Penyiksaan Diri Bukanlah metode yang Tepat
Siddhartha melakukan berbagai macam penyiksaan diri. Cara terakhir adalah dengan mengurangi dan berhenti makan sama sekali. Tubuhnya menjadi kurus kerontang serta tak bertenaga, tetapi tekadnya sama sekali tak tergoyahkan. Suatu hari, dia akhirnya jatuh pingsan karena terlalu lemah, beruntung dia terlihat oleh seorang anak penggembala kambing. Anak itu menduga bahwa petapa suci ini pingsan pasti karena praktek puasa yang sangat berat. Anak gembala segera berlari ke kawanan kambingnya dan kembali dengan membawa seekor induk kambing. Diperahnya susu induk kambing itu dan diminumkannya ke Siddhartha agar tersadar kembali. Setelah tersadar dan merasa agak segar, Siddhartha mulai berpikir, “Mengapa aku pingsan? Mengapa pula aku merasa agak segar sekarang? Akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa susu kambing yang diberikan anak gembala itulah yang membantunya segar kembali. Tanpa susu itu, dia mungkin telah menghembuskan nafas terakhir sebelum mencapai Penerangan Sempurna.
Setelah menerima ucapan terima kasih dari Siddhartha, anak gembala itu pergi meninggalkannya dengan gembira. Sedangkan Siddhartha tetap duduk di bawah pohon melanjutkan meditasinya.
Saat senja, dia mendengar sekelompok gadis muda yang sedang bernyanyi. Isi nyanyian itu adalah, “Bila senar kecapi terlalu kendur, bunyinya sumbang, saat terlalu kencang, senarnya akan mudah putus. Hanay senar yang tidak kendur ataupun kencang yang akan menghasilkan bunyi yang indah.”
Mendengar nyanyian itu, Siddharta merasa bahwa dia telah terlalu kencang menarik senar kehidupannya. Penyiksaan diri macam ini akan membawanya pada kematian sebelum berhasil mencapai Penerangan sempurna. Penyiksaan tubuh bukanlah cara yang tepat dalam mencari Kebenaran Mutlak. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk meninggalkan praktek penyiksaan diri. Selanjutnya dia akan mengembangkan kebijaksanaan dalam dirinya untuk mencapai Penerangan Sempurna. Sejak saat itu, setiap pagi hari Siddhartha pergi ke desa untuk menerima dana makanan.
Siddhartha Bersama Lima Petapa menyiksa Diri
Siddhartha juga mencoba berbagai macam jenis penyiksaan diri. Dia berpendapat, “Dengan melakukan penyiksaan diri yang semakin berat maka pasti akan mendapat penerangan sempurna”. Oleh sebab itu, setiba di desa Uruvela dia mencari tempat yang hening, datar, berhutan rimbun dan dekat dengan aliran sungai yang tenang. Siddhartha menetap di sana dan melakukan berbagai praktek penyiksaan diri.
Saat itu ada lima petapa yang mengiringi Siddhartha, mereka adalah Kondanna, Vappa, Bhadiyya, Mahanama, dan Assaji. Mereka yakin bahwa Kebijaksanaan dan ketekunan praktek penyiksaan diri akan mengantar Siddhartha pada penerangan sempurna, yang kemudian akan mengajarkan kebenaran mutlak itu kepada mereka.
Siddharta Melakukan Metode Penyiksaan Diri
India zaman itu sama seperti India Zaman kini, banyak petapa yang melakukan penyiksaan diri. Mereka menahan diri dari lapar dan haus, menggunakan berbagai macam cara untuk menyiksa diri sendiri, beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini kelak mereka akan terlahir di alam dewa dan berbahagia untuk selamanya. Mereka juga yakin bahwa semakin banyak penderitaan yang dialami di kehidupan ini maka akan semakin banyak pula kebahagiaan yang akan diperoleh dalam kehidupan akan dating. Oleh sebab itulah mereka menjalankan berbagai macam cara praktek penyiksaan diri.
Diantara mereka ada yang hampir tidak makan sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Adapula yang berdiri dengan satu kaki, ada yang bergantung di atas pohon. Ada yang mengangkat satu jari telunjuknya ke arah langit hingga lengannya menjadi cacat karena terhambatnya aliran peredaran darah. Ada yang mengepalkan kedua tangannya dengan kencang dan tak pernah membukanya sehingga kuku jarinya menembus punggung tangan. Ada yang tidur di atas ranjang kau berduri atau berpaku. Inilah beraneka ragam jenis penyiksaan diri.
Langganan:
Postingan (Atom)